Anak adalah anugerah terindah yang Allah titipkan pada kita. Titipan indah nan terbaik ini tentu tidaklah Cuma-Cuma, selayaknya titipan maka tentu ia harus dijaga dengan sebaik mungkin karena sang pemilik suatu saat akan mengambilnya dan akan memeriksa kondisi titipannya.
Sudah selayaknya anak dididik, diberi tempat berteduh terbaik, memberinya pakaian terbaik, memberinya perlindungan terbaik, namun, sayang beberapa waktu yang lalu kita mendapatkan berita terkait kasus prostitusi anak di kota Bontang, tepatnya di kecamatan Bontang Selatan provinsi Kalimantan timur. Tersangka yang berinisial DJA tertangkap tangan berserta uang senilai 2 juta rupiah. Ia ditangkap saat sedang menawarkan anak dibawah umur pada laki-laki hidung belang di sebuah hotel di wilayah Berbas Tengah, Bontang Selatan. (radarbontang.com).
Menyedihkan, anak-anak yang seharusnya dilindungi namun menjadi korban prostitusi. Dengan berbagai alasan yang membuat mereka terjerat prostitusi. Ada yang memang terpaksa karena dijebak mucikari, kemiskinan yang menghimpit, pendidikan rendah, lingkungan, atau gaya hidup hedonis. Tentunya semua alasan tersebut tak bisa dibenarkan.
Berbagai upaya beberapa pihak juga dilakukan, salah satunya PKK Pokja 1 yang konsen dibidang keagamaan dan gotong-royong berupaya mewujudkan KLA. Ketua Pokja 1 Rohana, mengungkapkan perlu mengadakan pertemuan di kecamatan, kelurahan bahkan di RT sebagai kontrol terhadap kekerasan, perdagangan serta prostitusi anak. [1]
Namun, permasalahannya apakah cukup hanya dengan sosialisasi dan gotong royong? Bisakah praktik prostitusi anak bisa dihentikan dengan menjadikan kota layak anak? Ternyata dengan mendapatkan gelar kota layak anak (KLA) tidak serta merta menjadi kota ini benar-benar menjadi layak bagi anak dari sisi perlindungan keamanan dan hak-hak bagi mereka.
Prostisusi yang sudah merambah anak-anak tidak bisa dianggap masalah biasa saja, karena prostitusi anak ini tidak lahir dengan sendirinya, melainkan dia lahir dari sebuah sistem hidup yang diterapkan saat ini, yaitu sistem hidup sekuler-kapitalis. Dimana dalam sistem hidup sekuler tidak ada aturan agama yang mengatur kehidupan, yang membuat aturan adalah manusia. Maka bisa kita bayangkan bagaimana jika manusia yang membuat aturan, jelas sekali manusia dengan segala keterbatasannya tidak bisa menjangkau semua hal, termasuk bagaiman mengatur pergaulan atau interlaksi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam sistem Kapitalis-Demokrasi dengan salah satu pilarnya adalah kebebasan berprilaku, maka siapa saja bebas berbuat apa saja termasuk berpacara, hingga terlibat dalam dunia prostisusi termasuk anak-anak dangat mungkin telibat didalamnya. Sebab selain mengemban kebebasan, dalam sistem hidup kaptalistik tidak lepas dari gaya hidup hedon, sehingga sesorang mau melakukan apa saja untuk bisa memenuhi keinginannya bukan kebutuhannya.
Sehingga inti dari permasalahan dari prostitusi anak bukan hanya tata aturan yang salah dalam mengatur interaksi di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi akidah sekuler yang melahirkan sistem kapitalislah yang menjadi sumber masalah. Sehingga tidak cukup hanya menjadikan kota layak bagi anak, dan aturan yang ada untuk memberantas permasalahan ini, akan tetapi harus ada perubahan yang mendasar dan sistemik agar akar persoalannya bisa terselesaikan, dengan diikuti dengan perubahan sistem yang lain juga seperti memberikan kesejahteraan dibidang ekonomi dengan membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang pencari nafkah khususnya, sehingga prostitusi karena alasan ekonomi tidak akan terjadi lagi, begitupun prostitusi karena gaya hidup hedonis akan hilang jika ketakwaan tiap individu terbina dengan baik karena adanya suasana kondusif dari negara juga adanya sanksi tegas bagi pelaku zina dan pihak yang menfasilitasi perzinahan itu sendiri, sehingga akan melahirkan efek jera bagi orang-orang di lingkungan dan menjadi tebusan akan dosa yang ia lakukan di dunia.
Adapun hukuman bagi fasilitator zina atau mucikari termasuk ke dalam perbuatan memfasilitasi terjadinya tindak pidana (jarimah) dalam persepektif hukum khususnya dalam hukum Islam tetap terkena sanksi sesuai dengan tingkat berat dan ringannya tindak pidana yang pokok.
Dengan demikian, pelaku perzinaan lebih-lebih pelacuran mendapat hukuman yang tegas dan keras, yakni hukuman rajam (zina muhshan) atau deraan (zina ghaer muhshan). Sementara bagi yang tidak terlibat langsung, seperti sanksi bagi para pelantara, germo, mucikari, penyedia tempat dan fasilitator lainnya, maka hukumannya dapat pula ditentukan oleh yang berwenang. Menurut Hukum Pidana Islam, misalnya, sanksi untuk para pelaku seperti itu dapat di berlakukan sanksi ta’zir dengan kadar hukuman mulai dari yang teringan sampai terberat sesuai dengan ringan atau berat tindak kejahatannya. Hukuman ini berdasarkan atas dalil umum dari Al qur’an Surat Al Isra ayat (32) “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.“
Inilah keindahan dan ketegasan Islam dalam memberantas pelaku zina dan fasilitator perzinahan, sehingga akan menimbulkan efek jera yang luar biasa kepada mereka. Dengan ketegasan hukuman bagi mereka tentu tidak akan memunculkan permasalahan yang sama yang terus berulang. Dan itu hanya bisa terjadi jika syariat Islam benar-benar diterapkan secara sempurna.