Akhir-akhir ini berbagai kasus menimpa perempuan, walaupun yang menimpa laki-laki juga tidak sedikit, seperti: Kekerasan, perdagangan orang dan lain-lain. Ternyata kasus yang menimpa perempuan masih banyak dan terus terjadi meskipun sudah ada keterwakilan perempuan di pemerintahan dan anggota legislatif. Artinya ada sumber masalah yang belum tertangani sebab hari ini problem hidup semakin kompleks yang dihadapi manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dan tidak sedikit para pejuang perempuan berusaha menyelesaikan masalah perempuan dengan kacamata mereka (kesetaraan gender).
Gender dan Emansipasi, Ide Absurd
Perselisihan antara KPU dan aktivis kesetaraan gender berpangkal dari absurdnya ide gender dan emansipasi. Ide ini menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal legislasi. Target ideal mereka adalah komposisi 50:50 antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek. Berdasarkan hal ini, digagaslah ide batas minimum keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen dari total anggota dewan. Pegiat gender menilai hadirnya para perempuan di parlemen akan menghasilkan produk legislasi yang berpihak terhadap kepentingan perempuan.
Adanya perempuan-perempuan yang menjadi wakil di bidang politik ini harapannya bisa menjadi kekuatan dan daya tahan berlangsungnya kehidupan demokrasi. Ketika tidak adanya wakil perempuan maka demokrasi dianggap defisit dan tidak bermakna. Defisit demokrasi merupakan kondisi yang menunjukkan prinsip-prinsip dasar demokrasi tidak ditemukan dalam praktiknya, seperti terkait keterwakilan yang berimbang.
Ternyata, porsi anggota parlemen perempuan di dunia masih belum mencapai 30 persen. Kondisi yang masih tidak imbang ini tidak hanya berbahaya bagi demokrasi tapi mengancam upaya pemenuhan hak asasi manusia, demikian sambutan Puan Maharani, Ketua DPR RI dalam Forum Women Parliamentarians pada sidang ke-144 Inter-Parliamentary Union (IPU) 20-24 Maret 2022 l.
Menurut Puan, kesetaraan gender yang belum terpenuhi juga menghambat akses perempuan dalam kekuasaan, khususnya pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan.
Indonesia sebagai negara penganut demokrasi, telah berupaya menerapkan pendekatan gender pada tiap kebijakan yang di antaranya tercermin dari partisipasi perempuan di bidang politik dan pemerintahan. Beberapa capaian keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia adalah presiden perempuan, menteri-menteri koordinator perempuan, anggota parlemen perempuan, gubernur, wali kota, bupati, bahkan ketua parlemen perempuan.
Namun, berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, bahwa sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan terjadi di tahun 2021 meningkat sekitar 50 persen dari 226.062 kasus pada tahun 2020. Pengaduan dari korban kekerasan terhadap perempuan ke Komnas Perempuan bahwa ada peningkatan 80 persen dari 2.134 kasus di tahun 2020 menjadi 3.838 kasus. Pengaduan korban ke Badan Peradilan Agama. Artinya porsi 30 persen perempuan diparlemen dan menduduki kursi kekuasaan tidak mampu mengurangi apalagi menghentikan permasalah yang menimpa perempuan.
Dan hal ini tidak aneh karena semua persoalan yang menimpa perempuan bukan hanya masalah UU ataupun porsi perempuan diparlemen, melainkan akibat sistem yang digunakan hari ini yaitu sistem sekuler kapitalis yang menjadikan pemisahan agama dari kehidupan sehingga semua orang dengan mudahnya berbuat seenaknya sendiri tidak memperhatikan halal dan haram lagi.
Sehingga karena sistem yang diterapkan hari ini memproduksi berbagai masalah termasuk yang menimpa perempuan perempuan. Sehingga keterwakilan perempuan di parlemen atau di pemerintahan seperti penganut gender inginkan tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang ada.
Islam Solusi Masalah Perempuan
Sebagai agama yang sempurna, Islam mampu menyelesaikan semua problematik kehidupan, baik menyangkut laki-laki maupun perempuan. Dalam penyelesaiannya, Islam tidak memandang jenis kelamin (gender) sehingga segala problematik diselesaikan dengan memandangnya sebagai problem manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Untuk menyelesaikan problem tersebut, harus menerapkan solusi dari Allah, yakni berupa syariat Islam. Melalui penerapan syariat Islam, seluruh permasalahan akan terselesaikan tuntas. Ini berbeda dengan kebijakan yang selalu responsif gender dan melaksanakan solusi seluruh aspek kehidupan yang merujuk pada gender mainstreaming (pengarusutamaan gender).
Konsep kesetaraan gender (KG) atau emansipasi sesungguhnya tidak dikenal dalam Islam, tidak dikenal pada masa Rasulullah, tidak pula pada masa Khulafaurasyidin. Allah membebankan syariat pada kaum perempuan juga laki-laki sebagai solusi problem manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Syariat ini bersumber dari nas-nas Al-Qur’an dan Sunah, bukan konvensi internasional, bukan pula nafsu ataupun keinginan tertentu manusia.
Untuk melihat kedudukan perempuan di depan syariat, haruslah mencermati, meneliti, dan mempelajari keseluruhan nas, bukan mengambil sebagian nas sesuai nafsu, keinginan, dan mendukung target kesimpulan yang telah dicanangkan; atau dengan mencampakkan sebagian nas yang tidak sesuai dengan itu semua.
Syariat Islam menetapkan berbagai hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki semata-mata untuk kemaslahatan keduanya. Ini karena syariat merupakan solusi permasalahan manusia. (An-Nabhani, Taqiyuddin. Syakhshiyah Islamiyah Juz III).
Dengan mengamati dan mencermati seluruh nas, terdapat hak dan kewajiban yang berlaku sama bagi perempuan dan laki-laki, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji. Terdapat pula hak dan kewajiban yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, misalnya batasan aurat, peran dalam keluarga, hukum bekerja, kewajiban nafkah, pembagian harta waris, kepemimpinan dalam pemerintahan, persaksian, serta imam salat.
Namun, adanya kesamaan dan perbedaan dalam sejumlah hak dan kewajiban tersebut bukan berdasarkan pada ada atau tidaknya aspek kesetaraan. Ini karena Islam memandang komunitas masyarakat—baik laki-laki ataupun perempuan—sebagai komunitas manusia secara keseluruhan, bukan komunitas laki-laki atau perempuan saja.
Dari sinilah, justru tampak jelas, hanya pemecahan masalah dengan hukum Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan manusia secara tuntas dan memberi maslahat pada manusia sebab Islam memandang manusia secara utuh.
Selain itu, jika mencermati secara jernih dan mendalam, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan terjadi bukan karena tidak adanya kesetaraan dan keadilan gender. Akan tetapi, itu karena tidak menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang tepat dan sempurna sesuai fitrah masing-masing.
Dalam Islam, kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sederajat, tidak ada yang lebih mulia kecuali karena takwanya. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Hujurat: 13,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang.”
Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh pemenuhan kebutuhan manusia, baik perempuan maupun laki-laki, dalam seluruh aspek kehidupan. Islam tidak mengekang dan meniadakan kebutuhan manusia. Ini karena pengekangan tersebut tidak sesuai dengan fitrah manusia, tidak memuaskan akal, dan tidak menenteramkan hati. Manusia akan gelisah, bahkan bisa terjadi penyimpangan dan kehancuran.
Akan tetapi, Islam juga tidak membebaskan pemenuhan kebutuhan sehingga manusia bebas memenuhinya tanpa aturan. Ini karena pemenuhan kebutuhan secara bebas justru akan mengantarkan manusia pada kehancuran.
Sifat dari peraturan Islam adalah mampu menyelesaikan kebutuhan dan permasalahan manusia secara tuntas tanpa menimbulkan masalah lainnya sebab aturan yang tercipta sesuai dengan kebutuhan, fitrah, dan kodrat manusia. (An-Nabhani, Taqiyuddin. Peraturan Hidup dalam Islam. Bogor).
Hanya dengan hukum Allah, kekerasan terhadap perempuan bisa terhapuskan. Hanya dengan hukum Allah pula, kemuliaan dan kemaslahatan bisa tercapai. Oleh sebab itu, wahai orang-orang beriman, renungkanlah firman Allah Swt. dalam QS Al-Maidah: 50, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” Wallahualam bissawab.