Trending.co.id, Samarinda – PT Pelayaran Nasional Ekalya Purnamasari (PNEP) kini tengah menghadapi sorotan tajam terkait dugaan pengabaian pembayaran upah lembur kepada 73 pekerjanya selama lima tahun, mulai dari tahun 2013 hingga 2018, dengan total tangguhan mencapai Rp 7,36 miliar.
Laporan mengenai dugaan ketidakbayaran ini telah disampaikan sejak tahun 2018. Hal ini memicu Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan oleh Disnakertrans Provinsi Kaltim dengan Nomor 556/3964/PPK/DTKT/2018 pada tanggal 17 Desember 2018. Penetapan ini terkait perhitungan dan penetapan kekurangan upah lembur atas nama Muhammad Dana dan rekan-rekannya.
Dalam upaya menyelesaikan permasalahan ini, Disnakertrans telah mengeluarkan Surat Perintah Membayar kepada PT PNEP melalui permohonan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2022.
Surat Perintah Membayar ini ditujukan kepada pimpinan perusahaan PT. PNEP, meminta mereka untuk segera menyelesaikan kewajiban pembayaran upah kerja lembur yang belum dipenuhi. Namun hingga saat ini, tuntutan tersebut belum mendapat tanggapan positif dari PT PNEP.
Dalam upaya menyelesaikan konflik ini, serikat buruh memutuskan untuk melibatkan DPRD Provinsi Kaltim, mengajukan mediasi guna menyelesaikan permasalahan ini dengan melibatkan pihak perusahaan. Para pekerja yang terdampak telah mengadu kepada Komisi IV DPRD Kaltim.
Ketua Komisi IV, Akhmed Reza Pahlevi, menyampaikannya terhadap situasi ini. Ia meminta PT PNEP segera mengatasi masalah ini dan menyelesaikan kewajiban pembayaran upah kerja lembur yang belum terpenuhi.
“Ya, kami (komisi IV) mendapatkan pengaduan dari karyawan PT PNPE yang lima tahun tidak mendapatkan haknya yakni upah lembur. Kami berharap perusahaan dapat membayar dan memenuhi hak-hak pekerja ini,” ungkap Reza.
Sementara itu, Kepala Disnakertrans Provinsi Kaltim, Rozani Erawadi, menegaskan komitmennya untuk memenuhi komitmen ini agar segera selesai. Ia mengingatkan bahwa penetapan upah lembur harus dihormati di setiap perusahaan, sesuai dengan perjanjian kerja atau Peraturan Perusahaan yang berlaku.
Rozani juga meminta kepada perusahaan-perusahaan lain untuk memberikan ketentuan yang jelas terkait upah lembur. Hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya masalah serupa di masa depan.
“Setiap jenis pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan upah lembur harus disesuaikan. Misalnya, upah lembur bisa dihitung berdasarkan perkalori, dan perusahaan harus memberikan upah yang setara dengan biaya makanan sebesar Rp 30 – 50 ribu selama jam kerja,” papar Rozani.
Kasus ini menyoroti pentingnya pematuhan upah lembur dalam dunia kerja, serta perlunya perusahaan memberikan pedoman yang jelas kepada pekerja terkait upah lembur agar hak-hak pekerja terlindungi dan konflik serupa dapat dihindari di masa mendatang.(al/adv/dprd kaltim)