Kontestasi politik pemilu tahun ini belum usai, setelah pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif terpilih, kini kita dihadapkan dengan pemilukada, yang saat ini mulai memanas, tak terkecuali di kota Bontang sendiri, ada 4 paslon yang siap bersaing untuk memperebutkan dampuk kuasa sebagai wali kota dan wakil walikota, bahkan beberapa wajah yang masuk sudah tidak asing, termasuk dari kalangan pemuda.
Namun, bagaimana sebenarnya arah politik pemuda seharusnya? Adakah pemuda hanya ikut serta dalam bursa pemilih tanpa tahu tujuan dari konsekuensi pilihannya? Padahal potensi pemuda begitu besar. Menurut survei Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS), proporsi pemilih muda rentang usia 17—39 tahun diprediksi mendekati 60%. (Liputan 6, 26-9-2022).
Demi meraih keterlibatan pemuda dalam pemilu tersebut, KPU menafsirkan ulang aturan larangan kampanye di kampus melalui UU Pemilu 7/2017 Pasal 280 (1) huruf H, yakni tidak ada larangan kampanye di kampus, melainkan yang dilarang adalah menggunakan fasilitasnya. Artinya, berkampanye di kampus dapat dilakukan jika peserta pemilu tidak memakai atribut kampanye dan dilakukan berdasarkan undangan dari pimpinan kampus.
Besarnya jumlah pemilih muda ini menjadi sangat penting demi legitimasi demokrasi yang hanya mementingkan jumlah kepala daripada isi pemikirannya. Saat ini saja, sudah banyak seminar dan diskusi publik di kampus yang menghadirkan kader partai tertentu untuk melakukan “edukasi politik” ke mahasiswa.
Mereka juga mengamputasi makna “peran politik” sebatas pada keterlibatan pemilu, seolah tidak ada peran perubahan yang lain. Walhasil, pemuda sekadar menjadi sasaran empuk untuk menjaring suara.
Inilah ironi pemuda dalam sistem demokrasi. Ketika suara mereka dibutuhkan untuk pemilihan kekuasaan, mereka dirangkul dan “dibumbung” atas nama peran politik. Sementara itu, ketika mereka menyuarakan perubahan dan kritik kebijakan demi kepentingan rakyat, demokrasi tidak akan menyebutnya sebagai peran politik, bahkan tidak memberi ruang dialog, apalagi memenuhi semua tuntutan dari berbagai aksi mahasiswa.
Wajah demokrasi yang terbuka, adil, dan memberi ruang kritik terhadap penguasa pun cuma sebatas teori yang tidak ada faktanya. Bahkan, catatan sejarah membuktikan bahwa demokrasi malah membunuh seorang pemikir dan filsuf Yunani (Socrates) yang kala itu mengkritik demokrasi.
Peran para pemuda juga dibonsai dengan pemahaman politik yang salah ala sistem sekuler demokrasi. Sejak di pendidikan dasar hingga tinggi, demokrasi semata tersaji sebagai sistem terbaik. Bahkan, apa pun persoalan bangsa dan penderitaan rakyat, tuntutan perubahan tidak boleh keluar dari lingkaran sistem demokrasi. Jadilah politik terbatas pada upaya meraih kekuasaan dan peran politik pemuda dalam demokrasi adalah dalam pergantian kekuasaan rezim saja.
Oleh karenanya, definisi dan peran politik demokrasi membahayakan pergerakan pemuda dan masa depan bangsa karena beberapa alasan.
Pertama, pemuda menjadi alat kekuasaan dengan terlibat politik praktis. Berbagai tawaran menggiurkan, seperti adanya insentif, karier politik, hingga narasi “keterlibatan politik praktis sebagai jalan perubahan”, hakikatnya justru membajak potensi pemuda sebagai alat kekuasaan kaum oligarki untuk memperpanjang umur penjajahan aset milik rakyat.
Kedua, pergerakan mahasiswa blunder dan gagal mencapai perubahan hakiki. Berbagai pergerakan yang aktif mengkritik kebijakan zalim masih terbonsai definisi “politik demokrasi sistem terbaik”. Walhasil, apa pun tuntutan mereka, tidak akan keluar dari lingkaran demokrasi. Itulah bentuk blunder dan gagalnya pergerakan mencapai perubahan hakiki.
Realitas pergerakan mahasiswa pascakemerdekaan hingga saat ini pun sekadar menuntut pergantian rezim. Hasilnya, rezim berganti, tetapi nyatanya permasalahan bangsa bertambah ruwet dan rakyat makin menderita. Artinya, pemuda gagal memahami bahwa akar masalah penderitaan rakyat bukanlah sekadar karena rezim zalim, melainkan sistem sekuler demokrasi yang melegalkan cengkeraman kaum oligarki kapitalis atas bangsa ini.
PEMUDA DAN POTENSINYA
Pemuda telah disebutkan menjadi golongan yang kuat dan seringkali dari pikiran dan kerjakerasnya perubahan bisa terjadi, sebagaimana perkataan pelopor kemerdekaan indonesia tentang pemuda “Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia.” (Ir. Soekarno)
Juga hadits yang menyebutkan tentang potensi pemuda.
“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali), kecuali naungan-Nya: … Dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1357 dan Muslim no. 1031)
Hadis ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap seorang pemuda muslim yang mampu mendatangkan kebaikan, sekaligus menjelaskan keutamaan bagi seorang muslim yang memiliki sifat yang alim (taat dalam ibadah) seperti dijelaskan dalam hadis tersebut.
Jadi, pemuda yang dimaksud bukanlah pemuda biasa, jika kita temui ahli ibadah dan ilmu dari kalangan tua itu sudah biasa namun, jika itu dari pemuda tentu ini adalah luar biasa, selain cakap ilmu juga ketakwaan dan keimanannya menjadikan dia takut kepada Allah, senantiasa hatinya terpaut pada Robbnya, ia bukan hanya ahli ibadah namun, tiap langkahnya ia hadirkan untuk senantiasa terikat kepada aturan (syariatNya), sehingga ketika ia menjadi pemimpin ia akan menjalankan segala bentuk konsekuensi dari takwa dan imannya yakni menjalankan islam secara kaffah/ totalitas.
PERAN POLITIK PEMUDA DALAM ISLAM
Pemuda berperan penting sebagai agen perubahan. Kepedulian terhadap nasib rakyat dan daya kritis mereka terhadap kebijakan zalim adalah identitas pergerakan yang akan mengawal tercapainya tujuan bernegara, yaitu jaminan perlindungan, keamanan, kesejahteraan, dan pendidikan, serta terwujudnya kemaslahatan hidup rakyat. Inilah peran politik hakiki pemuda, memastikan berjalannya peran negara dalam mengurusi rakyat.
Dalam pandangan Islam, politik negara adalah mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah Taala. Kekuasaan Islam merupakan jalan menerapkan syariat kafah demi kemaslahatan umat. Sebagai pelaksana syariat-Nya, sosok pemimpin/ khalifah adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa.
Oleh karenanya, kritik bukanlah ancaman, bahkan dibutuhkan sebagai standar optimalisasi kinerja khalifah yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Kritik umat terhadap penguasa merupakan sunah Rasul dan tabiat dalam Islam, juga bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar tidak tergelincir pada keharaman yang dimurkai Allah Taala.
Sistem pendidikan Islam akan mencerdaskan pemuda terkait sistem Islam kafah sebagai pedoman dalam melakukan peran politiknya. Demikian pula adanya lembaga negara Majelis Umat yang akan mewadahi rakyat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Bahkan, banyak kisah khulafa yang mendorong kekritisan pemuda untuk mengoreksi kebijakan penguasa agar senantiasa sesuai syariat Allah Taala.
Discussion about this post