Beberapa waktu lalu Indonesia kedatangan pemimpin gereja Katolik dunia Paus Fransiskus , salah satu kunjungannya ke Masjid Istiqlal di Jakarta. pada 3 – 6 September 2024. Dan Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi Paus Fransiskus dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam, Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan itu juga mengadakan misa agung di Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri ribuan umat Kristiani.
Penyambutan yang sangat meriah itu menimbulkan polemik dikalangan masyarakat dan dianggap terlalu berlebihan, sikap toleransi yang kebablasan dan tidak dicontohkan di dalam Islam. Pasalnya, serangkaian prosesi penyambutan Paus—yang dinarasikan sebagai misi perdamaian,kemanusiaan dan toleransi, menabrak batas-batas Aqidah Islam.
Masalah muncul pada saat Kementerian Agama menyampaikan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait penyiaran azan Magrib dan misa akbar bersama Paus Fransiskus.
Surat tersebut berisi dua substansi. Pertama, saran agar misa bersama Paus Fransiskus pada 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00—19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu Magrib ditunjukkan dalam bentuk running text sehingga misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia (Kemenag, 4-9-2024).
Bahaya sinkretisme, pluralisme dan humanisme beragama.
1.Sinkretise beragama.
Sinkretisme beragama bermakna mencampuradukkan ajaran agama-agama. Termasuk mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain. Sinkrestisme beragama semacam ini jelas mencampuradukkan yang haq dan yang batil, yang nyata-nyata terlarang dalam Islam. Allah SWT berfirman :
“Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Jangan pula kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 42).”
- Pluralisme agama.
Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Konsekuensinya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Setidaknya ada tiga hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini:
Pertama, aspek normatif. Secara normatif, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islam. Pluralisme bertentangan antara lain dengan firman Allah SWT :
“Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali agama itu tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).”
Dengan alasan itu, wajar jika pluralisme agama difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia dalam Munas VII MUI tahun 2005.
Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tetapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok.
Ketiga, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi Kapitalisme yang Kristen atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai membawa misi imperialisme
3.Humanisme beragama.
Humanisme muncul pada era Renaissance di Eropa. Ketika itu banyak pemikir seperti Petrarch, Erasmus dan Pico della Mirandola mulai memusatkan perhatian pada kebangkitan budaya klasik Yunani dan Romawi. Mereka juga menggali potensi manusia di luar dogma agama yang dominan saat itu. Sejak kelahirannya, paham humanisme ini justru ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Caranya dengan menjadikan manusia pusat edar kehidupan, dengan mengabaikan Tuhan dan agama. Paham humanisme bertentangan dengan firman Allah SWT :
“Katakanlah, “Sungguh shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (TQS al-An’am [6]: 162). ”
Toleransi Dalam Islam
Islam memiliki konsep toleransi yang khas berdasarkan akidah Islam. Konsep toleransi inilah yang harus kita gunakan, bukan toleransi kebablasan ala Barat. Konsep toleransi dalam Islam berawal dari keyakinan tentang kebenaran dinul Islam sebagaimana firman Allah Swt.
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19).
Dengan demikian, Islam merupakan satu-satunya agama yang diridai Allah. Sedangkan agama yang lain tertolak. Terkait hubungan dengan agama lain, umat Islam harus meyakini bahwa Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Rasulullah saw. bersabda,
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Ad-Daruquthni).
Oleh karenanya, umat Islam tidak boleh menyamakan Islam dengan agama lain. Umat Islam juga tidak boleh mengikuti agama lain, baik ibadahnya, aturannya, pakaiannya, maupun kebiasaannya. Allah Swt. berfirman,
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 6).
Dengan demikian, sikap toleransi dalam Islam adalah sebatas menghormati, menghargai, dan membiarkan umat agama lain meyakini dan beribadah menurut agamanya. konsep toleransi dalam Islam bukan mengarah pada paham sinkretisme, pluralisme dan humanisme yang merusak Aqidah Islam.
Toleransi dalam Islam bukan dengan bekerja sama (kolaborasi), menghadiri (berpartisipasi), atau bahkan penyatuan (unifikasi) dengan keyakinan dan ibadah mereka. Dialog antaragama juga menjadi perkara yang diharamkan dalam Islam karena menyamakan semua agama, meyakini tidak ada kebenaran mutlak, dan menuduh agama (Islam) sebagai penyebab konflik. Dialog antaragama merupakan hal yang berbahaya karena melemahkan umat Islam, membuat mereka ragu dengan ajaran Islam, sekaligus melanggengkan penjajahan Barat atas umat Islam.
Umat Islam tidak boleh terjebak dalam narasi-narasi yang dibangun oleh Barat, seperti toleransi, moderasi, dan dialog antaragama. Respons atas kezaliman sistem dan penguasa hari ini terhadap umat Islam, umat seharusnya marah dan tidak rida, bukan diam saja saat dizalimi. Wala’ (loyalitas) umat Islam hanya layak kepada akidah Islam dan bara’ (berlepas diri) dari orang kafir.
Umat Islam harus menyadari bahwa saat ini posisinya terjajah oleh orang-orang kafir. Negara-negara dan orang-orang kafir tidak akan rida hingga umat Islam mengikuti millah (ideologi) mereka. Dengan demikian, umat Islam harus kembali pada syariat Islam kafah dan berjuang mewujudkan tegaknya Khilafah. Khilafah akan menjadi pembebas umat Islam dari penjajahan dan melindungi mereka dari kezaliman musuh.
Khilafah akan menerapkan syariat Islam secara kafah sehingga terwujud kesejahteraan dan kemuliaan di tengah-tengah umat Islam. Umat Islam akan menjadi umat terbaik yang akan menggelorakan dakwah dan jihad ke luar negeri, termasuk ke Roma. Khalifah akan mengunjungi Roma, bukan untuk dialog antaragama atau bermesraan dengan Paus, tetapi untuk mendakwahkan Islam dan merealisasikan janji Allah Taala, yaitu membebaskan Roma.
Wallahualam bissawab